Minggu, 18 Maret 2012

Bibit Unggul, Memakmurkan atau Menyengsarakan???

“Mak nambah mak,”  “Habis nak, nasi kita sudah habis, beraspun habis, kerak-keraknyapun nggak ada lagi, tar kalau tahun depan karet sudah mulai nyadap, kamu dapat makan sekenyang-kenyangnya.” Demikian kata seorang ibu yang tengah membujuk anaknya dalam suatu kesempatan makan malam pada musim paceklik di sebuah pondok  reyot. Sang Ibu bilang nasi habis, beras habis sambil, Sambil mengambil nasi dipiringnya dimasukan ke piring anaknya, lalu menyudahi makan walaupun baru setengah kengang.

Sang kakak terhitung anak perempuan yang cerdas tengah duduk di kelas II SMP sementara drop Out dulu selama satu tahun ajaran lantaran  menunggak sewa kamar kos selama 3 bulan, hutang di warung ratusan ribu belum terbayar, plus belum punya uang seragam dan buku. “Insya Allah, setelah tahun depan karet kita sudah mulai dapat disadap kakak kembali bersekolah lagi dan langsung ayah kreditkan motor baru.” Kata seorang ayah membujuk putrinya yang lagi murung, karena terpaksa dijemput pulang kampung  akibat kekurangan biaya. 

Dua dialog singkat yang sangat mengharukan diatas memang sungguh terjadi pada sebuah keluarga miskin di salah satu desa pedalaman yang saya lupa, apakah itu Banpres,  Megang Sakti dan Jayaloka, Cacar dan  Nibung pada era awal tahun 90-an. Dimana ketika itu kemiskinan merata diseluruh wilayah Kabupaten Musi Rawas. Bumi Jayaloka dan Sukakarya ketika itu hanya lahan kritis ditumbuhi  alang-alang, komoditi eksport nonmigasnya keluar kecamatan cuma gori dan gaplek (nangka dan ubi). Di Pedesaan ketika itu tidak kenal yang namanya makan daging, kalau bukan kondangan tempat orang hajatan.

Kemiskinan  daerah ini ketika itu tergambar  dari Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Musi Rawas ketika itu (1990) Cuma berkisar sekitar Rp.500 juta bandingkan dengan saat ini hampir tembus angka Rp.80 Milyar. Begitu juga dengan APBD Kab.Musi Rawas ketika itu cuma sekitar Rp.200 Milyar, banding dengan saat ini melewati angka Rp.1 Trilyun. Mobil Dinaspun masih dapat dihitung dengan jari, mobil Bupati, Sekda plus satu unit mobil jenis L300 Pull Sekretariat Daerah dibawah penguasaan  Kabag Umum dan dapat dipakai instansi manapun yang memerlukannya.

Sumber mata pencarian masyarakat dipedesaan ketika itu mayoritas petani karet yang mengandalkan  karet tua warisan nenek moyang, kurang tepat bila dibilang kebun karet karena untuk mendpatkan hasil 10 kg getah karet saja mesti berjalan berjalan berjam-jam, maka kebun karet rakyat ketika itu lebih tepat bila dibilang hutan karet karena banyaklah hutan daripada batang karet.

Titik berat Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Musi Rawas ketika itu bukan pada infrastruktur tetapi pada pembangunan perkebunan berbasis rakyat. Ketika itu lagi populer proyek pemerintah pusat yang dibiayai bank dunia yang namanya SRDP(Smallhorder Rubber Devolovment  Project) /PPKR (Proyek Pengembangan Karet Rakyat). Proyek ini dikembangkan antara lain dalam bentuk Penyediaan Bibit Karet Unggul, biaya landkliring (Pembersihan lahan), perawatan, pupuk dan obat hama  ditanggung pemerintah dihitung sebagai hutang petani lalu dibayar ansuran setelah panen.
                  
Bupati Musi Rawas ketika itu sosok pekerja keras, cinta pertanian dan punya komitmen besar pada pengembangan karet rakyat. “Target 5 tahun masa jabatan saya revitalisasi perkebunan harus tuntas, saya belum dapat tidur nyenyak apabila karet tua warisan nenek moyang kita belum diganti bibit unggul.” Kata beliau. Kendaraan dinas BG 1 H nyaris tak pernah bersih, karena berhari-hari dibawa “Off- Road” berlumpur ria dipedesaan. Kerap kali beliau bersama Kepala Dinas Perkebunan dan para PPL memikul sendiri bibit karet ke lahan petani di pagi buta sedangkan petani itu sendiri belum bangun tidur. “Kursi yang kita duduki adalah kursi amanah, kita pastikan bibit-bibit ini adalah varitas unggul, lalu kita pastikan pula bibit itu sampai ke tangan petani, makanya kita antar sampai ke lahan, saya tidak siap menerima sumpah serapah  bila program ini gagal, ” Ungkap beliau dalam sebuah kesempatan.

Para PPL ketika itu benar-benar menjadi ujung tombak dalam mengsosialisasikan Program RSDP/PPKR berupa penggunaan karet bibit unggul, pemupukan berkala serta pemakaian pestisida dengan sistim  tanpa olah tanah (TOT) kepada petani. Memang ternyata bukan perkara gampang mengubah kultur masyarakat turun tenurun. Masyarakat belum mau percaya dengan bibit unggul hasil inovasi baru rekayasa genetic, mereka masih percaya bibit alam. Pak Bupati ketika itu memberi sanksi tegas berupa  kepada petani yang mendapat jatah bibit unggul tetapi dijual tidak ditanam atau tidak dirawat akan dipidana .

“Bapak-bapak Bibit ini hasil penelitian para ahli pertanian, untuk mendapatkan varitas unggul ini memakan waktu yang cukup panjang dan biaya yang besar, dalam perhektar butuh tanaman karet 550 batang, lalu lakukan pemupukan berkala, gunakan pestisida sesuai anjuran, maka gantung saya  apabila  hasilnya kurang dari 20 kg perhari.  Ketika 4-5 tahun kedepan  kalian cukup menyadap 20 hari saja dalam sebulan, maka kalian dapat 400 kg getah karet  atau setara Rp.7.200.000,- perbulan.” Kata kepala Dinas Perkebunan. 

 “Uang sebanyak itu tak akan habis dimakan dalam sebulan walaupun setiap kali makan lauk  dencis, Minum Sugus, dan ngudut  gudang garam abang dua bungkus setiap hari. Lalu bagaimana bila kalian mampu membuka lahan lebih luas lagi, kalian akan mampu menyokolahkan anak ke Perguruan Tinggi atau plesiran naik pesawat dan pakai mobil baru,”ujar seorang PPL memberi semangat.

Alhasil 5 tahun telah berlalu, karet yang ditanam telah mulai bisa disadap, hasilnyapun terbukti luar biasa. Petani yang semula dipaksa-paksa menanam bibit unggul malah kini mencari sendiri bibit unggul, hal ini  membuat pihak Dinas perkebunan kewalahan meladeni tingginya permintaan petani. Petani yang tadinya anti dengan bibit unggul malah  banyak yang ketangkap  mencuri bibit dilahan tetangga.

Sepuluh tahun setelah program SRDP/PPKR berjalan atau pada decade tahun 2000-an, pertumbuhan ekonomi Musi Rawas kian mencengangkan. Megang Sakti, Jayaloka, Nibung, Banpres, Campur Sari, Purwodadi menjadi sentra utama penghasil karet di daerah ini. Angkutan Pedesaan yang tadinya hanya berupa mobil jenis L300 pick Up kini nggak laku lagi angdes berganti mobil mewah jenis kijang inova full AC. Kalau dulu masyarakat pedesaan kemana-mana dengan sepeda ontel kini hanya tinggal kenangan, “Bersepada hanya untuk Olahraga.” Karena rata-rata pada setiap rumah sudah punya 2-3 sepeda motor.

Kembali kepada cerita awal yang mengharukan diatas, Sang Ibu yang kerap meneteskan air mata lantaran kekurangan pangan. Beberapa tahun lalu tercatat sebagai jemaah haji Musi Rawas dan telah 2 kali berangkat umroh mondar-mandir ke tanah suci. Sang anak yang dulu nyaris menjadi pasien gizi buruk atau busung lapar kini tercatat sebagai mahasiswa fakultas kedokteran disebuah perguruan tinggi negeri. Begitu juga si cerdas sang kakak yang sempat putus sekolah kini telah menjadi karyawan sebuah BUMN dan kini tengah mendapat tugas belajar Program S3 di perguruan tinggi berkelas di pulau Jawa.

Itulah sebuah kisah Musi Rawas yang sukses dengan Program Pemerintah yang berorientasi pada ekonomi rakyat dipadukan dengan kepemimpinan yang amanah, Alhamdulillah…Rakyat Makmur. 

Lain halnya terjadi negeri nun jauh disana (negeri anta beranta namanya), Urusan Bibit Unggul terlepas dari kontrol pemangku amanah, anggaran pengadaan bibit unggul  ditumpangi banyak kepentingan. Untuk menggolkan anggaran tersebut harus terlebih dahulu  mengakomodir kepentingan berbagai pihak. 

Sehingga kualitas unggul diragukan. Ketika masa panen tiba getahnya didapat jauh dari harapan, setiap pohon karet hanya menghasilkan getah tak lebih sebesar uang koin 100 rupiah. Semua harapan ditumpuhkan jadi sirna, kalau sudah begini ya…yang lapar akan terus lapar, yang putus sekolah tetap tidak berrsekolah. Ah….malapetaka…

1 komentar:

  1. mantab gan,
    ,
    ,
    ,
    ,
    ,
    salam semangat
    http://www.kabartebo.top/2015/07/jenis-karet-tahan-paceklik.html

    BalasHapus