“Mak nambah mak,” “Habis nak, nasi kita sudah habis, beraspun
habis, kerak-keraknyapun nggak ada lagi, tar kalau tahun depan karet sudah
mulai nyadap, kamu dapat makan sekenyang-kenyangnya.” Demikian kata seorang ibu
yang tengah membujuk anaknya dalam suatu kesempatan makan malam pada musim
paceklik di sebuah pondok reyot. Sang
Ibu bilang nasi habis, beras habis sambil, Sambil mengambil nasi dipiringnya
dimasukan ke piring anaknya, lalu menyudahi makan walaupun baru setengah
kengang.
Sang kakak terhitung anak perempuan yang cerdas
tengah duduk di kelas II SMP sementara drop Out dulu selama satu tahun ajaran
lantaran menunggak sewa kamar kos selama
3 bulan, hutang di warung ratusan ribu belum terbayar, plus belum punya uang
seragam dan buku. “Insya Allah, setelah tahun depan karet kita sudah mulai
dapat disadap kakak kembali bersekolah lagi dan langsung ayah kreditkan motor
baru.” Kata seorang ayah membujuk putrinya yang lagi murung, karena terpaksa dijemput
pulang kampung akibat kekurangan biaya.
Dua dialog singkat yang sangat mengharukan
diatas memang sungguh terjadi pada sebuah keluarga miskin di salah satu desa pedalaman
yang saya lupa, apakah itu Banpres, Megang
Sakti dan Jayaloka, Cacar dan Nibung
pada era awal tahun 90-an. Dimana ketika itu kemiskinan merata diseluruh
wilayah Kabupaten Musi Rawas. Bumi Jayaloka dan Sukakarya ketika itu hanya lahan
kritis ditumbuhi alang-alang, komoditi
eksport nonmigasnya keluar kecamatan cuma gori dan gaplek (nangka dan ubi). Di
Pedesaan ketika itu tidak kenal yang namanya makan daging, kalau bukan
kondangan tempat orang hajatan.
Kemiskinan daerah ini ketika itu tergambar dari Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Musi
Rawas ketika itu (1990) Cuma berkisar sekitar Rp.500 juta bandingkan dengan
saat ini hampir tembus angka Rp.80 Milyar. Begitu juga dengan APBD Kab.Musi
Rawas ketika itu cuma sekitar Rp.200 Milyar, banding dengan saat ini melewati
angka Rp.1 Trilyun. Mobil Dinaspun masih dapat dihitung dengan jari, mobil
Bupati, Sekda plus satu unit mobil jenis L300 Pull Sekretariat Daerah dibawah
penguasaan Kabag Umum dan dapat dipakai
instansi manapun yang memerlukannya.
Sumber mata pencarian masyarakat
dipedesaan ketika itu mayoritas petani karet yang mengandalkan karet tua warisan nenek moyang, kurang tepat
bila dibilang kebun karet karena untuk mendpatkan hasil 10 kg getah karet saja
mesti berjalan berjalan berjam-jam, maka kebun karet rakyat ketika itu lebih
tepat bila dibilang hutan karet karena banyaklah hutan daripada batang karet.
Titik berat Pembangunan Pemerintah Daerah
Kabupaten Musi Rawas ketika itu bukan pada infrastruktur tetapi pada
pembangunan perkebunan berbasis rakyat. Ketika itu lagi populer proyek
pemerintah pusat yang dibiayai bank dunia yang namanya SRDP(Smallhorder Rubber
Devolovment Project) /PPKR (Proyek
Pengembangan Karet Rakyat). Proyek ini dikembangkan antara lain dalam bentuk Penyediaan
Bibit Karet Unggul, biaya landkliring (Pembersihan lahan), perawatan, pupuk dan
obat hama ditanggung pemerintah dihitung
sebagai hutang petani lalu dibayar ansuran setelah panen.
Bupati Musi Rawas ketika itu sosok pekerja
keras, cinta pertanian dan punya komitmen besar pada pengembangan karet rakyat.
“Target 5 tahun masa jabatan saya revitalisasi perkebunan harus tuntas, saya
belum dapat tidur nyenyak apabila karet tua warisan nenek moyang kita belum
diganti bibit unggul.” Kata beliau. Kendaraan dinas BG 1 H nyaris tak pernah
bersih, karena berhari-hari dibawa “Off- Road” berlumpur ria dipedesaan. Kerap
kali beliau bersama Kepala Dinas Perkebunan dan para PPL memikul sendiri bibit
karet ke lahan petani di pagi buta sedangkan petani itu sendiri belum bangun
tidur. “Kursi yang kita duduki adalah kursi amanah, kita pastikan bibit-bibit ini
adalah varitas unggul, lalu kita pastikan pula bibit itu sampai ke tangan petani,
makanya kita antar sampai ke lahan, saya tidak siap menerima sumpah
serapah bila program ini gagal, ” Ungkap
beliau dalam sebuah kesempatan.
Para PPL ketika itu benar-benar menjadi
ujung tombak dalam mengsosialisasikan Program RSDP/PPKR berupa penggunaan karet
bibit unggul, pemupukan berkala serta pemakaian pestisida dengan sistim tanpa olah tanah (TOT) kepada petani. Memang
ternyata bukan perkara gampang mengubah kultur masyarakat turun tenurun.
Masyarakat belum mau percaya dengan bibit unggul hasil inovasi baru rekayasa
genetic, mereka masih percaya bibit alam. Pak Bupati ketika itu memberi sanksi
tegas berupa kepada petani yang mendapat
jatah bibit unggul tetapi dijual tidak ditanam atau tidak dirawat akan dipidana
.
“Bapak-bapak Bibit ini hasil
penelitian para ahli pertanian, untuk mendapatkan varitas unggul ini memakan
waktu yang cukup panjang dan biaya yang besar, dalam perhektar butuh tanaman
karet 550 batang, lalu lakukan pemupukan berkala, gunakan pestisida sesuai
anjuran, maka gantung saya apabila hasilnya kurang dari 20 kg perhari. Ketika 4-5 tahun kedepan kalian cukup menyadap 20 hari saja dalam
sebulan, maka kalian dapat 400 kg getah karet
atau setara Rp.7.200.000,- perbulan.” Kata kepala Dinas Perkebunan.
“Uang sebanyak itu tak akan habis dimakan
dalam sebulan walaupun setiap kali makan lauk
dencis, Minum Sugus, dan ngudut gudang
garam abang dua bungkus setiap hari. Lalu bagaimana bila kalian mampu membuka
lahan lebih luas lagi, kalian akan mampu menyokolahkan anak ke Perguruan Tinggi
atau plesiran naik pesawat dan pakai mobil baru,”ujar seorang PPL memberi
semangat.
Alhasil 5 tahun telah berlalu, karet
yang ditanam telah mulai bisa disadap, hasilnyapun terbukti luar biasa. Petani
yang semula dipaksa-paksa menanam bibit unggul malah kini mencari sendiri bibit
unggul, hal ini membuat pihak Dinas
perkebunan kewalahan meladeni tingginya permintaan petani. Petani yang tadinya
anti dengan bibit unggul malah banyak
yang ketangkap mencuri bibit dilahan
tetangga.
Sepuluh tahun setelah program
SRDP/PPKR berjalan atau pada decade tahun 2000-an, pertumbuhan ekonomi Musi
Rawas kian mencengangkan. Megang Sakti, Jayaloka, Nibung, Banpres, Campur Sari,
Purwodadi menjadi sentra utama penghasil karet di daerah ini. Angkutan Pedesaan
yang tadinya hanya berupa mobil jenis L300 pick Up kini nggak laku lagi angdes
berganti mobil mewah jenis kijang inova full AC. Kalau dulu masyarakat pedesaan
kemana-mana dengan sepeda ontel kini hanya tinggal kenangan, “Bersepada hanya
untuk Olahraga.” Karena rata-rata pada setiap rumah sudah punya 2-3 sepeda
motor.
Kembali kepada cerita awal yang
mengharukan diatas, Sang Ibu yang kerap meneteskan air mata lantaran kekurangan
pangan. Beberapa tahun lalu tercatat sebagai jemaah haji Musi Rawas dan telah 2
kali berangkat umroh mondar-mandir ke tanah suci. Sang anak yang dulu nyaris
menjadi pasien gizi buruk atau busung lapar kini tercatat sebagai mahasiswa
fakultas kedokteran disebuah perguruan tinggi negeri. Begitu juga si cerdas sang
kakak yang sempat putus sekolah kini telah menjadi karyawan sebuah BUMN dan
kini tengah mendapat tugas belajar Program S3 di perguruan tinggi berkelas di
pulau Jawa.
Itulah sebuah kisah Musi Rawas yang
sukses dengan Program Pemerintah yang berorientasi pada ekonomi rakyat
dipadukan dengan kepemimpinan yang amanah, Alhamdulillah…Rakyat Makmur.
Lain halnya terjadi negeri nun jauh disana
(negeri anta beranta namanya), Urusan Bibit Unggul terlepas dari kontrol
pemangku amanah, anggaran pengadaan bibit unggul ditumpangi banyak kepentingan. Untuk
menggolkan anggaran tersebut harus terlebih dahulu mengakomodir kepentingan berbagai pihak.
Sehingga
kualitas unggul diragukan. Ketika masa panen tiba getahnya didapat jauh dari
harapan, setiap pohon karet hanya menghasilkan getah tak lebih sebesar uang
koin 100 rupiah. Semua harapan ditumpuhkan jadi sirna, kalau sudah begini ya…yang
lapar akan terus lapar, yang putus sekolah tetap tidak berrsekolah. Ah….malapetaka…
mantab gan,
BalasHapus,
,
,
,
,
salam semangat
http://www.kabartebo.top/2015/07/jenis-karet-tahan-paceklik.html