Senin, 19 Maret 2012
Minggu, 18 Maret 2012
Bibit Unggul, Memakmurkan atau Menyengsarakan???
“Mak nambah mak,” “Habis nak, nasi kita sudah habis, beraspun
habis, kerak-keraknyapun nggak ada lagi, tar kalau tahun depan karet sudah
mulai nyadap, kamu dapat makan sekenyang-kenyangnya.” Demikian kata seorang ibu
yang tengah membujuk anaknya dalam suatu kesempatan makan malam pada musim
paceklik di sebuah pondok reyot. Sang
Ibu bilang nasi habis, beras habis sambil, Sambil mengambil nasi dipiringnya
dimasukan ke piring anaknya, lalu menyudahi makan walaupun baru setengah
kengang.
Sang kakak terhitung anak perempuan yang cerdas
tengah duduk di kelas II SMP sementara drop Out dulu selama satu tahun ajaran
lantaran menunggak sewa kamar kos selama
3 bulan, hutang di warung ratusan ribu belum terbayar, plus belum punya uang
seragam dan buku. “Insya Allah, setelah tahun depan karet kita sudah mulai
dapat disadap kakak kembali bersekolah lagi dan langsung ayah kreditkan motor
baru.” Kata seorang ayah membujuk putrinya yang lagi murung, karena terpaksa dijemput
pulang kampung akibat kekurangan biaya.
Dua dialog singkat yang sangat mengharukan
diatas memang sungguh terjadi pada sebuah keluarga miskin di salah satu desa pedalaman
yang saya lupa, apakah itu Banpres, Megang
Sakti dan Jayaloka, Cacar dan Nibung
pada era awal tahun 90-an. Dimana ketika itu kemiskinan merata diseluruh
wilayah Kabupaten Musi Rawas. Bumi Jayaloka dan Sukakarya ketika itu hanya lahan
kritis ditumbuhi alang-alang, komoditi
eksport nonmigasnya keluar kecamatan cuma gori dan gaplek (nangka dan ubi). Di
Pedesaan ketika itu tidak kenal yang namanya makan daging, kalau bukan
kondangan tempat orang hajatan.
Kemiskinan daerah ini ketika itu tergambar dari Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Musi
Rawas ketika itu (1990) Cuma berkisar sekitar Rp.500 juta bandingkan dengan
saat ini hampir tembus angka Rp.80 Milyar. Begitu juga dengan APBD Kab.Musi
Rawas ketika itu cuma sekitar Rp.200 Milyar, banding dengan saat ini melewati
angka Rp.1 Trilyun. Mobil Dinaspun masih dapat dihitung dengan jari, mobil
Bupati, Sekda plus satu unit mobil jenis L300 Pull Sekretariat Daerah dibawah
penguasaan Kabag Umum dan dapat dipakai
instansi manapun yang memerlukannya.
Sumber mata pencarian masyarakat
dipedesaan ketika itu mayoritas petani karet yang mengandalkan karet tua warisan nenek moyang, kurang tepat
bila dibilang kebun karet karena untuk mendpatkan hasil 10 kg getah karet saja
mesti berjalan berjalan berjam-jam, maka kebun karet rakyat ketika itu lebih
tepat bila dibilang hutan karet karena banyaklah hutan daripada batang karet.
Titik berat Pembangunan Pemerintah Daerah
Kabupaten Musi Rawas ketika itu bukan pada infrastruktur tetapi pada
pembangunan perkebunan berbasis rakyat. Ketika itu lagi populer proyek
pemerintah pusat yang dibiayai bank dunia yang namanya SRDP(Smallhorder Rubber
Devolovment Project) /PPKR (Proyek
Pengembangan Karet Rakyat). Proyek ini dikembangkan antara lain dalam bentuk Penyediaan
Bibit Karet Unggul, biaya landkliring (Pembersihan lahan), perawatan, pupuk dan
obat hama ditanggung pemerintah dihitung
sebagai hutang petani lalu dibayar ansuran setelah panen.
Bupati Musi Rawas ketika itu sosok pekerja
keras, cinta pertanian dan punya komitmen besar pada pengembangan karet rakyat.
“Target 5 tahun masa jabatan saya revitalisasi perkebunan harus tuntas, saya
belum dapat tidur nyenyak apabila karet tua warisan nenek moyang kita belum
diganti bibit unggul.” Kata beliau. Kendaraan dinas BG 1 H nyaris tak pernah
bersih, karena berhari-hari dibawa “Off- Road” berlumpur ria dipedesaan. Kerap
kali beliau bersama Kepala Dinas Perkebunan dan para PPL memikul sendiri bibit
karet ke lahan petani di pagi buta sedangkan petani itu sendiri belum bangun
tidur. “Kursi yang kita duduki adalah kursi amanah, kita pastikan bibit-bibit ini
adalah varitas unggul, lalu kita pastikan pula bibit itu sampai ke tangan petani,
makanya kita antar sampai ke lahan, saya tidak siap menerima sumpah
serapah bila program ini gagal, ” Ungkap
beliau dalam sebuah kesempatan.
Para PPL ketika itu benar-benar menjadi
ujung tombak dalam mengsosialisasikan Program RSDP/PPKR berupa penggunaan karet
bibit unggul, pemupukan berkala serta pemakaian pestisida dengan sistim tanpa olah tanah (TOT) kepada petani. Memang
ternyata bukan perkara gampang mengubah kultur masyarakat turun tenurun.
Masyarakat belum mau percaya dengan bibit unggul hasil inovasi baru rekayasa
genetic, mereka masih percaya bibit alam. Pak Bupati ketika itu memberi sanksi
tegas berupa kepada petani yang mendapat
jatah bibit unggul tetapi dijual tidak ditanam atau tidak dirawat akan dipidana
.
“Bapak-bapak Bibit ini hasil
penelitian para ahli pertanian, untuk mendapatkan varitas unggul ini memakan
waktu yang cukup panjang dan biaya yang besar, dalam perhektar butuh tanaman
karet 550 batang, lalu lakukan pemupukan berkala, gunakan pestisida sesuai
anjuran, maka gantung saya apabila hasilnya kurang dari 20 kg perhari. Ketika 4-5 tahun kedepan kalian cukup menyadap 20 hari saja dalam
sebulan, maka kalian dapat 400 kg getah karet
atau setara Rp.7.200.000,- perbulan.” Kata kepala Dinas Perkebunan.
“Uang sebanyak itu tak akan habis dimakan
dalam sebulan walaupun setiap kali makan lauk
dencis, Minum Sugus, dan ngudut gudang
garam abang dua bungkus setiap hari. Lalu bagaimana bila kalian mampu membuka
lahan lebih luas lagi, kalian akan mampu menyokolahkan anak ke Perguruan Tinggi
atau plesiran naik pesawat dan pakai mobil baru,”ujar seorang PPL memberi
semangat.
Alhasil 5 tahun telah berlalu, karet
yang ditanam telah mulai bisa disadap, hasilnyapun terbukti luar biasa. Petani
yang semula dipaksa-paksa menanam bibit unggul malah kini mencari sendiri bibit
unggul, hal ini membuat pihak Dinas
perkebunan kewalahan meladeni tingginya permintaan petani. Petani yang tadinya
anti dengan bibit unggul malah banyak
yang ketangkap mencuri bibit dilahan
tetangga.
Sepuluh tahun setelah program
SRDP/PPKR berjalan atau pada decade tahun 2000-an, pertumbuhan ekonomi Musi
Rawas kian mencengangkan. Megang Sakti, Jayaloka, Nibung, Banpres, Campur Sari,
Purwodadi menjadi sentra utama penghasil karet di daerah ini. Angkutan Pedesaan
yang tadinya hanya berupa mobil jenis L300 pick Up kini nggak laku lagi angdes
berganti mobil mewah jenis kijang inova full AC. Kalau dulu masyarakat pedesaan
kemana-mana dengan sepeda ontel kini hanya tinggal kenangan, “Bersepada hanya
untuk Olahraga.” Karena rata-rata pada setiap rumah sudah punya 2-3 sepeda
motor.
Kembali kepada cerita awal yang
mengharukan diatas, Sang Ibu yang kerap meneteskan air mata lantaran kekurangan
pangan. Beberapa tahun lalu tercatat sebagai jemaah haji Musi Rawas dan telah 2
kali berangkat umroh mondar-mandir ke tanah suci. Sang anak yang dulu nyaris
menjadi pasien gizi buruk atau busung lapar kini tercatat sebagai mahasiswa
fakultas kedokteran disebuah perguruan tinggi negeri. Begitu juga si cerdas sang
kakak yang sempat putus sekolah kini telah menjadi karyawan sebuah BUMN dan
kini tengah mendapat tugas belajar Program S3 di perguruan tinggi berkelas di
pulau Jawa.
Itulah sebuah kisah Musi Rawas yang
sukses dengan Program Pemerintah yang berorientasi pada ekonomi rakyat
dipadukan dengan kepemimpinan yang amanah, Alhamdulillah…Rakyat Makmur.
Lain halnya terjadi negeri nun jauh disana
(negeri anta beranta namanya), Urusan Bibit Unggul terlepas dari kontrol
pemangku amanah, anggaran pengadaan bibit unggul ditumpangi banyak kepentingan. Untuk
menggolkan anggaran tersebut harus terlebih dahulu mengakomodir kepentingan berbagai pihak.
Sehingga
kualitas unggul diragukan. Ketika masa panen tiba getahnya didapat jauh dari
harapan, setiap pohon karet hanya menghasilkan getah tak lebih sebesar uang
koin 100 rupiah. Semua harapan ditumpuhkan jadi sirna, kalau sudah begini ya…yang
lapar akan terus lapar, yang putus sekolah tetap tidak berrsekolah. Ah….malapetaka…
Jumat, 16 Maret 2012
Kamis, 15 Maret 2012
OTORITER MALAH DISANJUNG
Di tengah para pemimpin atau para
politisi makin berlomba
membangun pencitraan. Selalu menonjolkan
citra baik di hadapan public, ada yang tiba-tiba
jadi jadi
dermawan banyak berbuat amal tetapi dengan maksud
tertentu apalagi kalau bukan menjelang Pemilu/Pilkada. Akan tetapi lain halnya terjadi dari
negeri seberang tepatnya Kerajaan Johor Baru atau Johor Darul Ta’zim. Johor dipimpin oleh seorang Sultan keturunan Bugis yaitu
Sultan Mahmood Iskandar Al-Haj (ketika itu tahun 2009). Beliau otoriter, bengis
dan kejam tetapi anehnya sang Sultan amat dicintai dan malah disanjung rakyatnya.
Mengapa demikian ? jawabannya karena sang raja mempraktekkan kepemimpinan yang satu kata dengan perbuatan.
Sebenarnya Johor Baru - Malaysia termasuk salah satu negara tujuan
wisata orang Indonesia, tetapi sangat minim
sekali informasi yang dapat kita himpun dari para pelancong terutama tentang Kepemimpinan pemegang
kekuasaan di sana. Untuk itu, saya jadi
teringat apa yang telah dituturkan sang
pemandu wisata kepada saya ketika
saya melawat ke negeri jiran waktu itu. Pramuwisata tersebut Warga Negara
Malaysia (asli Johor) yang telah puluhan tahun bekerja pada agent perjalanan. Selama
menyelusuri jalan tol yang mulus dari Johor ke Malaysia yang ditempuh selama 5 jam
sang pramuwisata menuturkan tentang kepemimpinanan Sultan negeri Upin dan Ipin
ini.
Kerajaan Johor Baru atau
Johor Darul Ta’zim Johor merupakan negeri paling selatan di Semenanjung Malaya negeri Bagian Malaysia yang paling dekat dengan
Indonesia. Negara Bagian yang dihuni sekitar 2 juta penduduk itu dipimpin oleh
Raja yaitu Sultan Mahmood Iskandar Al-Haj keturunan Bugis (ketika itu tahun
2009) .
Sultan Mahmood Iskandar Al-Haj telah sepuh
berusia lebih dari 75 tahun, tetapi rakyat Johor amat mencintainya. Sebelum
memulai sholat jumat para jemaah mendoakan semoga baginda raja yang telah sepuh
dipanjangkan umurnya sehingga dapat terus melanjukan kepemimpinannya di Negeri …….
“Para hadirin sidang jumat yang
dimulyakan Allah, petugas jumat hari ini bertindak sebagai muazin….,sebagai
khotif…., bertindak sebagai sebagai imam…namun sebelumnya sebagaimana biasa marilah
kita berdoa, membaca Ummul Kitab”Surat Alfatiha” semoga baginda Yang Maha Mulya Sultan Mahmood Iskandar Al-Haj
diberikan kesehatan, dipanjangkan umurnya sehingga dapat meneruskan kepepemimpinannya
di negeri ini. Alfatiha….” Kalimat tersebut rutin disampaikan pengurus Mesjid
Surau, Langgar pada setiap menjelang dimulainya Shalat Jumat diseluruh pelosok
Negeri Johor Baru.
Padahal Baginda dikenal sebagai pemimpin
yang otoriter, bengis, kejam dan mau benar sendiri. Baginda gampang tersinggung
, urusan kecil, remeh temeh, sepeleh sedikit saja saja baginda bisa marah besar
, bikin gawat kerajaan. Rakyat lebih memilih
tidak jumpa baginda bertahun-tahun daripada berjumpa dijadikan sasaran kemarahannnya.
Konon tangan kanan baginda sejak
beberapa tahun yang lalu sudah kaku, mati rasa, syaraf - syarafnya lemah, tidak
bisa digerakkan jika tidak dibantu orang lain. Apa asal usulnya ? Pada suatu hari
baginda Jumaatan di salah satu Mesjid luar istana. Baginda disambut dengan meriah
oleh Jemaah Mesjid mulai
dari para Ulama/Tokoh Agama , Tokoh Masyarakat,
unsur pemerintah sampai pada rakyat
biasa dan anak – anak, mesjid yang cukup besar penuh sesak di padati Jemaah.
Tak disangka – sangka ternyata Jumat
kali ini benar – benar ternoda, para pengawal rupanya lupa menghubungi khotib Jumat.
Jika saja para pengawal menghubungi khotib lebih dahulu paling kurang diketahui
atau disensor materi khotbah sesuai selera baginda. Tatapi Entahlah, kenapa
kali ini benar-benar sial khotib langsung naik mimbar.
Materi yang disampaikan khotib kali
ini, bagi kebanyak Jemaah biasa – biasasaja sangat standar. Diawali dengan puji-pujian
kehadapan Allah SWT, kemudian Mengingatkan
Jemaah untuk senantiasa memelihara keimanannya. “ Janganlah kita mati kecuali
dalam keadaan beriman kepada Allah SWT.” Khotib mengingatkan.
Selanjutnya, sang khotib menymapaikan
fatwanya sebagai berikut, “ Sesunggunya diharamkan bagi Laki-laki untuk memakai
perhiasan baik berupa Kalung, Cincin, Gelang yang terbuat dari Emas, Intan,
Permata dan Perak.” Kata khotib. Seketika
Baginda berdiri langsung menampar dan menarik paksa sang khotib. Suasana dalam
masjid berubah menjadi gaduh.
Dikabarkan kemarahan baginda ini karena
khotib menyindir baginda dengan mengatakan diharamkan bagi laki – laki memakai perhiasan
dari Emas, sedangkan baginda sendiri memakai sebuah cincin dijari manisnya terbuat
dari emas. Konon Sejak itulah tangan kanan baginda kaku, mati syaraf dan tidak
bias lagi digerakkan.
Masih banyak lagi cerita - cerita
yang beredar dkalangan rakyat Johor tentang kebengisan dan kekejaman baginda antara
lain ketika mobilnya disalip seseorang, maka para pengawal diminta mengejar sampai
ketemu sipengemudi tadi untuk dijatuhi hukuman, belum lagi cerita baginda memerintahkan
para pengawal untuk merobohkan beberapa rumah rakyat yang didirikan tanpa izin dan mengesampingkan aspek
tata ruang. Pendek kata Baginda yang mahamulya Sultan Johor otoriter, bengis,
kejam.
Tetapi kemabli kepada cerita awal kenapa
semua masjid mendoakankanya ? Apakah tidak berlebihan dibacakan Al-Fatihah sebelum jumat dikhususkan bagi Sang
Baginda yang Maha Kejam? Ternyata tidak.
Karena baginda raja mempunyai sisi
baik dan kelebihan yang tidak dimiliki Raja di kesultanan lain di Malaysia,
bahkan rakyat menyangsikan adanya peminpin pengganti sehebat baginda.
Pertama : Secara Historis Kerajaan
Johor Merdeka sebelum Berdirinya Negara
Malaysia tangal 15 Agustus 1957, dengan demikian Johor memiliki Angkatan Bersenjata
sendiri dengan struktur gaji sendiri. Ketika Perdana Menteri Mahathir Muhamad berkuasa
beliau menyampaikan ide melebur angkatan bersenjata Johor kedalam angkatan bersejata
Malaysia, tetapi baginda Sultan tidak setuju malah Mahathir ditantang perang oleh Raja
Johor akhirnya Mahathir mengalah dan maksudnya
tak kesampaian sampai saat ini.
Kedua : Semua pemegang KTP Johor
dijamin penuh keselamatannya baik dalam negeri Johor maupun diluar negeri.
Kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan yang layak dijamin penuh oleh
kerajaan.
Ketiga : Setiap warga Johor yang
bermasalah secara hukum mendapat perlindungan penuh dari kerajaan. Warga Johor
bila tersangkut kasus pidana diluar Johor diadili atau diproses hokum di Johor.
Tentu masih ingat kita perihal penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan
dan Perikanan Kepri ditangkap oleh Marine Police Malaysia (MPM) di perairan
Tanjung Berakit, Bintan. Petugas
kita berpakaian dinas dilucuti dan dianiaya secara keji di Malaysia, diduka gara
– gara angkatan laut kita menahan tujuh nelayan Johor – Malaysia. Bagi Kerajaan
Johor tidak mengenal kompromi bila warganya dianiaya.
Demikianlah, sebuah pesan kepemimpinan yang
disamapaikan oleh seorang pramuwisata mencari makan dengan keringatnya, dia pengamat
bukan pula politisi, tetapi saya kagum atas kepekaannya.
Terakhir
saya titip pesan kepada Sultan beliau, Selamat semoga panjang umur. Salam untuk
Ipin dan Upin.
BERGURU DARI MATADJI SANG JURAGAN SAPI ASAL BANDAR JAYA
Saya
amat senang sekali ketika mendapat penugasan dari atasan saya untuk mengikuti
Bintek penyusunan Perda Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) di Hotel Sheraton
Bandar Lampung tanggal 23-24 Februari 2012. Perjalanan ke Lampung memang sejak
lama saya tunggu-tunggu, karena Lampung termasuk salah satu Lumbung sapi
Nasional setelah Blitar, Tuban, Magetan, Pasuruan di Jawa Timur. Saya akan menyaksikan
langsung penggemukan Sapi yang menurut informasi sangat efisien cukup dengan 7
karyawan dapat mengembangkan 1000 ekor sapi. Sangat pantastis.
Analisis paling sederhana akan kebutuhan harian akan daging sapi untuk Linggau – Mura minimal 2500 kg daging sapi atau setara 30 ekor sapi bali perhari, 70 % diantaranya terserap untuk mengisi mengisi kebutuhan warung – warung bakso yang menjamur merata di kota Lubuk Linggau dan kecamatan di Mura.
Belum lagi utuk kebutuhan mingguan, sebagai indikasi taraf ekonomi masyarakat yang kian meningkat daging sapipun dibutuhkan bagi mereka yang tengah menyelenggarakan hajatan/persedekahan paling kurang dibutuhkan lebih dari 50 - 70 ekor sapi perminngu.
Lebih – lebih lagi untuk kebutuhan tahunan, saat ini masyarakat semakinreligius terutama di wilayah perkotaan sehingga ber-Qurban ketika hari raya Idul Adha sudah menjadi trend baru. Informasi yang berhasil kami himpunan setiap masjid membutuhkan 5 – 7 ekor sapi kurban bila di Kota Lubuk Linggau terdapat lebih kurang 300 mesjid, jika 5 ekor sapi kurban masing-masing masjid, maka dibutuhkan lebih kurang 1500 sapi Qurban.
Pendek kata Permintaan masyarakat akan daging sapi sangat tinggi, sedangkan produksi hanya semata mengandalkan para peternak tradisional atau usaha sambilan masyarakat di pedesaan sehingga perlu investor baru dengan manejemen modern.
Kembali pada Pak Matadji sang juragan asal Bandar Jaya, namanya sudah terkenal di seputaran kota Bandar Jaya, Lampung Tengah. Ia telah dikenal sebagai usahawan sukses dibidang penggemukan sapi potong. Dia dikenal luas oleh berbagai kalangan mulai dari kalangan dari Tukang Ojek, Pedagang Asongan, hingga Pejabat Tinggi sekelas Gubernuer, Kapolda, Pangdam, bahkan 2 Menteri setahun terakhir ini pernah mengunjungingi peternakan sapi Pak Matadji yaitu Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan UKM Kabinet Indonesia Bersatu Jilit II.
Kesuksesan Matadji membawanya menjadi Pembina puluhan kelompok tani di Lampung. Beliau juga sering diundang seminar sebagai narasumber, tapi undangan tersebut selalu ditolaknya. Lantaran saya tidak punya waktu. Saya hanya merima siapapun yang dating untuk berbagi gratis tanpa dipungut biaya asalkan dating ke sini kata Pak Matadji.
Saya diterima Pak Matadji sekitar jam 4 sore bertempat di bangsal ternak dibelakang rumah tempat tinggalnya. Dibangsal ini juga biasanya Pak Matadi menerima tamu-tamu lainnya, termasuk menerima para pembesar negeri dibangsal ini juga biasanya Pak Matadji menjalin Deal-deal dengan para pembeli dari berbagai daerah.
Pak Matadji mengawali karier per-sapian-an sekitar tahun 1986 mulai dari penggembala sapi tetangga dengan sistim bagi hasil. Dengan modal kejujuran. Lalu dalam singkat saya dititipi sapi – sapi oleh para pemodal besar dan Alhamdulillah tidak menyangka akan berkembang sedemikian rupa dan seluruh sapi – sapi ini milik sendiri dan seperserpun tak punya hutang di per-Bankan, tutur Pak Matadji kepada saya.
sapi yang digemukkan yakni jenis sapi peranakan Boss Taurus seperti Simental, Limausin dan jenis Brangus. Alasannya adalah selain pesat pertumbuhannya juga mudah
dalam perawatannya sapi tersebut dipelihara 2 – 6 bulan kemudian dijual ke Pasaran sepanjang Pulau Sumatera, mulai dari Lampung, Sumatera Selatan, Babel, Padang, Medan, Pekan Baru hingga Aceh.
Limbah menjadi pakan ternak
Pak Matadji dapat berternak ribuan ekor sapi hanya dengan 7 orang karyawan, cukup efisien bukan? Benar - benar efisien, karena sapi – sapi Pak Matadji diberi makanan pokok berupa campuran Onggok, Kulit Nanas, jerami dan konsetrat. Onggok (limbah pabrik Tapioka) dan Kulit Nanas (Limba pabrik pengalengan nanas). Pakan ini tersedia melimpah menggunung. Sapi-sapi Pak Matadji menghabiskan 20 ton pakan campuran tersebut perhari. Limbah tapioca dibeli dengan harga sangat murah hanya Rp. 200.000/ton diterima ditempat.
Limbah Pabrik ini semula menebarkan bau tidak sedap, mengundang lalat dan mencemari lingkungan meresahkan masyarakat sekitar. Setelah diujicobakan bertahun-tahun ternyata limbah Pabrik yang semula meresahkan tersebut dicampur konsentrat ternyata berguna untuk pakan ternak. Tugas 7 orang karyawan ini mengaduk campuran pakan limbah dengan konsentral lalu didistribusikan ke petak-petak tempat pakan yang telah tersedia dan membersihkan kandang.
Hasil keuntungan dari usaha peternakan dimanfaatkan Pak Matadji untuk membangunan Perkebunan kelapa sawit. Konon kini Pak Matadji telah berhasil membangun ratusan hektar kebun sawit. Sekitar 40 HA diantaranya telah produksi normal sisanya belum produksi. Pak Matadji dengan memelihara sapi paling kurang berhemat ratusan juta pertahun, karena Kotoran – kotoran sapi dikumpulkan dikeringkan lalu dikirim ke Perkebunan Sawit minimal kebutuhan pupuk urea untuk perkebunan sawit Pak Matadji terpenuhi dari usaha peternakan sapinya.
Dapatkah penggemukan sapi ala Pak Matadji diadopsi di Musi Rawas ? Jawabnya pasti bisa dengan tetapi harus dengan penyesuaian-penyesuaian. Anatara Lampung - Mura terdapat perbedaan yang mendasar. Lampung dengan kondisi perkembangan areal tanaman komoditas padi, singkong dan palawija, nampaknya sangat tepat apabila wilayah ini dijadikan areal pengembangan “sapi potong” karena adanya kontinuitas ketersediaan pakan ternak yang berasal dari limbah industry pertanian berupa onggok (limbah pabrik Tapioka) dan Kulit Nanas (Limba pabrik pengalengan nanas), dedak (limba pabrik padi) plus jerami. Sangat cocok untuk jenis sapi limusin, sapi peranakan ongole, sapi metal.
Sedangkan Musi Rawas dengan kondisi pengembangan areal perkebunan karet dan sawit dan sebagian lahan persawahan sangat cocok peternakan “pengembangbiakan” dengan jenis sapi bali. Sapi bali adalah jenis sapi asli Indonesia merupakan keturunan banteng yang dijinakkan biasanya hidup liar hutan-hutan pulau bali. Sapi bali mempunyai keunggulan reproduksi sangat baik/cepat beranak, mudah beradaptasi tahan penyakit, dapat hidup di lahan kritis dan memiliki daya cerna yang baik.
Maka sapi bali sangat cocok dikembangkan di Musi Rawas karena di Musi Rawas tidak tersedia pasokan pakan yang berasal dari limbah industry, Sapi bali cukup digembala dipadang rumput dilepas secara bebas.
Lalu, bagaimana bila pengembangan “Sapi Potong” seperti untuk jenis sapi limusin, sapi peranakan ongole, sapi metal di Musi Rawas ? tentunya dapat saja. Konon saat ini tengah dilakukan penelitian oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Sembawa (Banyuasin – Sumsel) bahwa daun dan pelepah sawit dapat dijadikan pakan sawit. Bermodal mesin pencacah (cruicer) Daun dan pelepah sawit dicacah kecil-kecil lalu dicampur konsentral plus sedikit daun hijau jadilah pakan yang memenuhi standatr gizi ternak. Bukankah di Musi Rawas daun dan pelepah sawit juga tersedia melimpah selama ini belum dimanfaatkan.
Semoga, Sumsel yang selama ini dikenal sebagai Lumbung Energi, Lumbung Pangan, berkat tour saya ke peternakan Pak Matadji berberapa hari lalu terbitnya tulisan ini, dan tergerak minat investor baru bidang peternakan sehingga muncul satu Icon lagi bagi sumsel yaitu lumbung ternak. Lengkap nya Sumsel Lumbung Energi, Lumbung Pangan dan Lumbung Ternak, Semoga.
Analisis paling sederhana akan kebutuhan harian akan daging sapi untuk Linggau – Mura minimal 2500 kg daging sapi atau setara 30 ekor sapi bali perhari, 70 % diantaranya terserap untuk mengisi mengisi kebutuhan warung – warung bakso yang menjamur merata di kota Lubuk Linggau dan kecamatan di Mura.
Belum lagi utuk kebutuhan mingguan, sebagai indikasi taraf ekonomi masyarakat yang kian meningkat daging sapipun dibutuhkan bagi mereka yang tengah menyelenggarakan hajatan/persedekahan paling kurang dibutuhkan lebih dari 50 - 70 ekor sapi perminngu.
Lebih – lebih lagi untuk kebutuhan tahunan, saat ini masyarakat semakinreligius terutama di wilayah perkotaan sehingga ber-Qurban ketika hari raya Idul Adha sudah menjadi trend baru. Informasi yang berhasil kami himpunan setiap masjid membutuhkan 5 – 7 ekor sapi kurban bila di Kota Lubuk Linggau terdapat lebih kurang 300 mesjid, jika 5 ekor sapi kurban masing-masing masjid, maka dibutuhkan lebih kurang 1500 sapi Qurban.
Pendek kata Permintaan masyarakat akan daging sapi sangat tinggi, sedangkan produksi hanya semata mengandalkan para peternak tradisional atau usaha sambilan masyarakat di pedesaan sehingga perlu investor baru dengan manejemen modern.
Kembali pada Pak Matadji sang juragan asal Bandar Jaya, namanya sudah terkenal di seputaran kota Bandar Jaya, Lampung Tengah. Ia telah dikenal sebagai usahawan sukses dibidang penggemukan sapi potong. Dia dikenal luas oleh berbagai kalangan mulai dari kalangan dari Tukang Ojek, Pedagang Asongan, hingga Pejabat Tinggi sekelas Gubernuer, Kapolda, Pangdam, bahkan 2 Menteri setahun terakhir ini pernah mengunjungingi peternakan sapi Pak Matadji yaitu Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan UKM Kabinet Indonesia Bersatu Jilit II.
Kesuksesan Matadji membawanya menjadi Pembina puluhan kelompok tani di Lampung. Beliau juga sering diundang seminar sebagai narasumber, tapi undangan tersebut selalu ditolaknya. Lantaran saya tidak punya waktu. Saya hanya merima siapapun yang dating untuk berbagi gratis tanpa dipungut biaya asalkan dating ke sini kata Pak Matadji.
Saya diterima Pak Matadji sekitar jam 4 sore bertempat di bangsal ternak dibelakang rumah tempat tinggalnya. Dibangsal ini juga biasanya Pak Matadi menerima tamu-tamu lainnya, termasuk menerima para pembesar negeri dibangsal ini juga biasanya Pak Matadji menjalin Deal-deal dengan para pembeli dari berbagai daerah.
Pak Matadji mengawali karier per-sapian-an sekitar tahun 1986 mulai dari penggembala sapi tetangga dengan sistim bagi hasil. Dengan modal kejujuran. Lalu dalam singkat saya dititipi sapi – sapi oleh para pemodal besar dan Alhamdulillah tidak menyangka akan berkembang sedemikian rupa dan seluruh sapi – sapi ini milik sendiri dan seperserpun tak punya hutang di per-Bankan, tutur Pak Matadji kepada saya.
sapi yang digemukkan yakni jenis sapi peranakan Boss Taurus seperti Simental, Limausin dan jenis Brangus. Alasannya adalah selain pesat pertumbuhannya juga mudah
dalam perawatannya sapi tersebut dipelihara 2 – 6 bulan kemudian dijual ke Pasaran sepanjang Pulau Sumatera, mulai dari Lampung, Sumatera Selatan, Babel, Padang, Medan, Pekan Baru hingga Aceh.
Limbah menjadi pakan ternak
Pak Matadji dapat berternak ribuan ekor sapi hanya dengan 7 orang karyawan, cukup efisien bukan? Benar - benar efisien, karena sapi – sapi Pak Matadji diberi makanan pokok berupa campuran Onggok, Kulit Nanas, jerami dan konsetrat. Onggok (limbah pabrik Tapioka) dan Kulit Nanas (Limba pabrik pengalengan nanas). Pakan ini tersedia melimpah menggunung. Sapi-sapi Pak Matadji menghabiskan 20 ton pakan campuran tersebut perhari. Limbah tapioca dibeli dengan harga sangat murah hanya Rp. 200.000/ton diterima ditempat.
Limbah Pabrik ini semula menebarkan bau tidak sedap, mengundang lalat dan mencemari lingkungan meresahkan masyarakat sekitar. Setelah diujicobakan bertahun-tahun ternyata limbah Pabrik yang semula meresahkan tersebut dicampur konsentrat ternyata berguna untuk pakan ternak. Tugas 7 orang karyawan ini mengaduk campuran pakan limbah dengan konsentral lalu didistribusikan ke petak-petak tempat pakan yang telah tersedia dan membersihkan kandang.
Hasil keuntungan dari usaha peternakan dimanfaatkan Pak Matadji untuk membangunan Perkebunan kelapa sawit. Konon kini Pak Matadji telah berhasil membangun ratusan hektar kebun sawit. Sekitar 40 HA diantaranya telah produksi normal sisanya belum produksi. Pak Matadji dengan memelihara sapi paling kurang berhemat ratusan juta pertahun, karena Kotoran – kotoran sapi dikumpulkan dikeringkan lalu dikirim ke Perkebunan Sawit minimal kebutuhan pupuk urea untuk perkebunan sawit Pak Matadji terpenuhi dari usaha peternakan sapinya.
Dapatkah penggemukan sapi ala Pak Matadji diadopsi di Musi Rawas ? Jawabnya pasti bisa dengan tetapi harus dengan penyesuaian-penyesuaian. Anatara Lampung - Mura terdapat perbedaan yang mendasar. Lampung dengan kondisi perkembangan areal tanaman komoditas padi, singkong dan palawija, nampaknya sangat tepat apabila wilayah ini dijadikan areal pengembangan “sapi potong” karena adanya kontinuitas ketersediaan pakan ternak yang berasal dari limbah industry pertanian berupa onggok (limbah pabrik Tapioka) dan Kulit Nanas (Limba pabrik pengalengan nanas), dedak (limba pabrik padi) plus jerami. Sangat cocok untuk jenis sapi limusin, sapi peranakan ongole, sapi metal.
Sedangkan Musi Rawas dengan kondisi pengembangan areal perkebunan karet dan sawit dan sebagian lahan persawahan sangat cocok peternakan “pengembangbiakan” dengan jenis sapi bali. Sapi bali adalah jenis sapi asli Indonesia merupakan keturunan banteng yang dijinakkan biasanya hidup liar hutan-hutan pulau bali. Sapi bali mempunyai keunggulan reproduksi sangat baik/cepat beranak, mudah beradaptasi tahan penyakit, dapat hidup di lahan kritis dan memiliki daya cerna yang baik.
Maka sapi bali sangat cocok dikembangkan di Musi Rawas karena di Musi Rawas tidak tersedia pasokan pakan yang berasal dari limbah industry, Sapi bali cukup digembala dipadang rumput dilepas secara bebas.
Lalu, bagaimana bila pengembangan “Sapi Potong” seperti untuk jenis sapi limusin, sapi peranakan ongole, sapi metal di Musi Rawas ? tentunya dapat saja. Konon saat ini tengah dilakukan penelitian oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Sembawa (Banyuasin – Sumsel) bahwa daun dan pelepah sawit dapat dijadikan pakan sawit. Bermodal mesin pencacah (cruicer) Daun dan pelepah sawit dicacah kecil-kecil lalu dicampur konsentral plus sedikit daun hijau jadilah pakan yang memenuhi standatr gizi ternak. Bukankah di Musi Rawas daun dan pelepah sawit juga tersedia melimpah selama ini belum dimanfaatkan.
Semoga, Sumsel yang selama ini dikenal sebagai Lumbung Energi, Lumbung Pangan, berkat tour saya ke peternakan Pak Matadji berberapa hari lalu terbitnya tulisan ini, dan tergerak minat investor baru bidang peternakan sehingga muncul satu Icon lagi bagi sumsel yaitu lumbung ternak. Lengkap nya Sumsel Lumbung Energi, Lumbung Pangan dan Lumbung Ternak, Semoga.
Langganan:
Postingan (Atom)